Mendapatpertanyaan tentang hal itu, Mahfud MD meminta agar tidak memprovokasi umat dengan isu Maulid Nabi bid'ah. Menurut dia, isu tersebut sudah usang dan tidak perlu untuk didiskusikan lagi. "Jangan memprovokasi dengan isu bid'ah. Itu sudah kuno dan tidak laku untuk didiskusikan," tulis Mahfud MD di akun Instagramnya, Selasa (20/11).
Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami agama yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”. Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya furu’. Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ “Allah yang menciptakan langit dan bumi”. Al-Baqarah 2 117. Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut; اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ “Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”. Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ “Sebagus bid’ah itu ialah ini”. Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج 5ص 76. “Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”. Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka? كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ “Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”. Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk. Mari kita kembali kepada hadits. كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ “Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”. Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan Kemungkinan pertama كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ “Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”. Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر “Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”. -KH. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama LDNU dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah Aswaja Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU
MACAMMACAM BID'AH. Bid'ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam : 1. Bid'ah qauliyah 'itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka. 2.
Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membid’ahkan suatu amalan, “Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi, dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Seandainya itu perkara baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya.” Tark Tak Selalu Bermakna Tahrim Ketika Nabi tidak melakukan suatu hal–dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut “at-tark”— mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim pengharaman. Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu hal hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau sebab sebagai manusia, Nabi yang suci dari dosa [ma’shum] diliputi pula oleh keterbatasan fisik dan lingkungan kultural—red, atau karena takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi, hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru. Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal, dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-tark tidak melakukan saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaidah mengatakan مَا دَخَلَهُ الاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الاسْتِدْلاَلُ "Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain". Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ "Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf." Jadi, perlu diketahui bahwa ada sebuah kaidah ushul fiqh تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ "Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang". At-tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang untuk melakukan sesuatu yang ditinggalkan tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al-matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-tark saja. Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal ada 1 nahy larangan, atau 2 lafazh tahrim atau 3 dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا Maknanya "..Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…" al Hasyr 7 Allah tidak menyatakan وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا تَرَكَهُ فَانْتَهُوْا عَنْهُ "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah." Al Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan "فَالتَّرْكُ لَيْسَ بِمُوْجِبٍ لِحُكْمٍ فِي ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ إِلاَّ جَوَازَ التَّرْكِ وَانْتِفَاءَ الْحَرَجِ فِيْهِ، وَأَمَّا تَحْرِيْمٌ أَوْ لُصُوْقُ كَرَاهِيَةٍ بِالْمَتْرُوْكِ فَلاَ، وَلاَ سِيَّمَا فِيْمَا لَهُ أَصْلٌ جُمْلِيٌّ مُتَقَرِّرٌ مِنَ الشَّرْعِ كَالدُّعَاءِ". "Jadi at-tark tidak memiliki akibat hukum apa pun terhadap al Matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara' seperti doa misalnya". Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ فِعْلُ الرَّسُوْلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ القَرَائِنِ –وَكَذَا تَرْكُهُ- لاَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبٍ وَتَحْرِيْمٍ "Ibnu Baththal mengatakan, Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah konteks, red lain –demikian pula tark-nya—tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman’." Kitab Fathul Bari, 9/14 Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar "وَكَذَا تَرْكُهُ" menunjukkan bahwa at-tark saja mujarrad at-tark tidak menunjukkan pengharaman. Perihal Tuntutan “Mana Dalilnya?” Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan, “Ini tidak ada dalilnya!”, dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut. Pertama, dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ Maknanya “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” al Hajj 77 Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaidah mengatakan العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ "Dalil yang umum diterapkan digunakan dalam semua bagian-bagian cakupannya." Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil. Mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut. Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum dan itu artinya bahwa syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at merupakan kekufuran yang sangat nyata. Kedua, dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja, misalnya, dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup. Ketiga, dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah. Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, hadits itu ada yang muttafaq ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi shihhatihi Lihat as-Suyuthi, al-Hawi lil Fataawi 2/210, Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul. Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya. Hati-hati Terperosok! Ada sebuah kaidah yang sangat penting dalam beristidlal—orang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaidah tersebut dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih h. 132 وَإِذَا رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُوْنُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ رُدَّ بِأُمُوْرٍ" ثُمَّ قَالَ "وَالثَّانِيْ أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ أَوْ السُّـنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوْخٌ، وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفَ الإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوْخٌ أَوْ لاَ أَصْلَ لَهُ، لأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ صَحِيْحًا غَيْرَ مَنْسُوْخٍ وَتُجْمِعُ الأُمَّةُ عَلَى خِلاَفِهِ "Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun terpercaya meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya, hadits itu bisa tertolak karena beberapa hal. Kemudian beliau mengatakan Kedua hadits tersebut menyalahi nash Al-Qur’an, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh telah dihapus dan tidak berlaku lagi. Ketiga hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu umat sepakat untuk menyalahinya". Orang yang tidak mengetahui kaidah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran adz-Dzahab al Muhallaq seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash Al-Qur'an seperti firman Allah أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ Maknanya "Dan apakah patut menjadi anak Allah orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran". az-Zukhruf 18 Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah dinasakh telah dihapus dan tidak berlaku lagi. Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan فَهذِهِ الأَخْبَارُ أَيْ فِيْ الإِبَاحَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ مَعْنَاهَا تَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ التَّحَلِّيْ بِالذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ، وَاسْتَدْلَلْنَا بِحُصُوْلِ الإِجْمَاعِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ عَلَى نَسْخِ الأَخْبَارِ الدَّالَّةِ عَلَى تَحْرِيْمِهِ فِيْهِنَّ خَاصَّةً "Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh" Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22. Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi. Teladan Toleransi Ulama Salaf Dalam bidang furu’ tidak pernah salah seorang dari para ulama mujtahid mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda. Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak pernah mengatakan hal seperti itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya. Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti mazhab orang lain selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua umat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furu’ telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaidah yang disepakati لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ “Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya mukhtalaf fih di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya mujma’ alayhi.” Lihat as-Suyuthi, al-Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al-Fawa-id al-Janiyyah, h. 579-584 Maksud dari kaidah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda. Wallahu a'lam. Ustadz Nur Rohmad, Dewan Pakar Aswaja NU Center PCNU Kabupaten Mojokerto TanyaJawab Seputar Bid'ah. By Dindin Nugraha. 18 Januari 2018. 0. 5733. Bagikan. Facebook. Twitter. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. Tetapi tentang bid'ah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk mayit, pasti tetap kami laksanakan
Pertanyaan Soal Bid’ah 1Assalamu’alaikum wr. wb. Saya ingin menanyakan, bagaimana sikap kita bila di lingkungan tempat tinggal kita ini meskipun orang-orangnyasangat religius, tetapi sering kali membid’ahkan hal-hal yang sudah baik seperti yasinan, tahlilan, sholawatan, dzikir bersama setelah sholat, dsbKemudian saya tanyakan, beberapa tahun terakhir saya sering membaca buku-buku sufistik, mengingat ayah saya juga mengikuti Thariqot Qadiriah di Bandung, namun sampai saat ini saya belum mengikuti thariqat, ada rasa ragu apakah saya bisa menjalani riyadhah seperti yang ayah saya lakukan saya rasa sangat berat. Saat ini saya tinggal dan bekerja di Tangerang, dan orang tua saya menganjurkan untuk belajar mengaji di Tangerang saja. Mohon bantuannya, adakah thariqat yang lebih ringan di Tangerang? Terima kasih banyak sebelumnya. wr. Purnama -0812185xxxxxPertanyaan Soal Bid’ah 2Assalamu’alaikum wr. wb. Pak Kyai yang saya hormati afwan saya Ruli dari Tanggerang mau tanya tentang bid’ah. Apakah benar anggapan kelompok Wahabi setiap bid’ah itu adalah sesat dan sesat itu adalah tempat neraka? Bagaimana menurut Pak Kyai tentang hal diatas? Terima kasih. Wassalamualaikum wr. yang menjadi tradisi kebaikan di kalangan ummat Islam seperti Yasinan, Tahlil, wirid sehabis sholat, bukan sesuatu yang bid’ah. Tetapi adalah Sunnah Hasanah seperti dalam hadits Nabi Saw, “Man sanna sunnatan hasanatan…dst”. Jika disebut Bid’ah maka bukan Bid’ah Dholalah hal baru yang sesat, tetapi Bid’ah hasanah tradisi baru yang baik, yang sesungguhnya menjabarkan kandungan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi tidak usah bingung. Karena mereka belum tahu tentang pengetahuan agama secara dalam. Memahami Al-Qur’an dan Hadits serta praktek ibadah Nabi Saw, tidak segampang membaca formalitas teks Al-Qur’an dan Sunnah. Ada namanya Ijtihad yaitu memahami Al-Qur’an dan Sunnah menurut pemikiran maksimal dengan syarat-syarat-nya, yang dilakukan oleh para Sahabat, Tabi’iin hingga para Ulama Mujtahidin. Seluruh tatacara ibadah kita saat ini, tanpa adanya para sahabat, tabi’iin dan mujtahidin, pasti kita akan gagal memahami Nabi saat ini banyak orang melakukan Ijtihad, tetapi tidak memenuhi syarat ijtihad, sehjingga ijtihadnya malah menyesatkan dirinya dan orang lain, lalu membid’ahkan sana sini. Dalam setiap zaman golongan seperti itu selalu ada, kita sangat kasihan sekali terhadap mereka ini, karena semangat besar, cara dan jalannya yang salah. Yang terjadi adalah Nafsu Ijtihad. Nah…Misalnya kalau Allah Swt memerintahkan anda makan singkong, apakah anda akan makan singkong dengan mentah-mentah tanpa dimasak, tanpa dikupas, tanpa dicuci?Kalau ketika anda mengupas kulitnya, disebut bid’ah? Merebus singkong itu juga bid’ah? Membuat pati songkong juga bid’ah? Inilah perlunya berakal sehat dan pemikiran yang benar, dalam bid’ah yang dholalah saja yang disebut bid’ah neraka. Zaman Nabi sholat tarawih tidak dibatasi jumlah rokaatnya. Tetapi sejak zaman Khalifah Umar hingga sekarang ini, sholat tarawih di masjidil Haram dan Masjid Nabawi, 20 rekaat. Itulah Bid’ah Hasanah bid’ah yang sangat bagus.Ikuti pengajian tasawuf di Tangerang di Gedung MUI Tangerang seperti dalam jadwal di atau di Majalah Cahaya Sufi, agar ada pencerahan dalam diri anda dan sekaligus membebaskan bebas psikologis anda.
JawabSoal Tentang Bid'ah. Kepada Abdulla Amer. Pertanyaan: Assalamu 'alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Kemarin, orang-orang sedang keluar dari shalat Jumat. Orang-orang berjubel di pintu masjid, lalu seseorang berkata "shallû 'alâ an-nabiy -bershalawatlah kepada nabi-. Maka seseorang yang lain berkata: "diamlah, itu bid'ah."
Pertanyaan Saya sering mendengar ustadz bicara tentang bid’ah. Apa sih definisi bid’ah dan contoh nyatanya di masyarakat sekarang? andiga putra Jawaban Bismillah. Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-I’tisham, memberikan definisi bid’ah, sebagai berikut, طريقة فيالدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله “Jalan dalam meniti kehidupan beragama, yang jalan itu merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan menyerupai syariat, dan dia dilaksanakan dengan tujuan memperbanyak ibadah kepada Allah.” Contoh nyata bid’ah adalah tahlilan dan peringatan kematian. Jika ditilik dari definisi di atas maka perbuatan ini termasuk bid’ah, dari beberapa sisi Tahlilan merupakan jalan dalam meniti agama. Karena itulah, acara ini dilakukan terus-menerus. Dibuat-buat; karena acara ini tidak memiliki landasan dalil. Menyerupai syariat; dalam acara ini ada aturan tertentu yang tidak boleh dilanggar, saperti bacaan, urutan bacaan, dan rangkaian acara lainnya. Dilaksanakan untuk tujuan memperbanyak ibadah kepada Allah; semua orang yang mengikuti acara ini sepakat bahwa tujuannya adalah ibadah, mencari pahala. Jika memenuhi definisi di atas, berarti tahlilan dan acara kematian termasuk bid’ah. Untuk kasus bid’ah yang lain, Anda bisa menggunakan definisi dari Imam Asy-Syatibi di atas. Semoga bermanfaat. Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits, dari Dewan Pembina Konsultasi Syariah. Artikel 🔍 Wanita Mandi Bersama Lelaki, Dialog Agama Islam Vs Kristen, Hukum Suami Tidak Menafkahi Istri, Niat Sholat Isya Sendiri, Ramalan Kematian Ciri Orang Akan Meninggal, Niat Tidur KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO CARA SHOLAT, ATAU HUBUNGI +62813 26 3333 28
Kajian dan Tanya Jawab tentang Bid'ah dan Ahli Bid'ah (337 audio) 23 Jan, 2021 Posting Komentar Daftar Isi Koleksi kumpulan rekaman audio kajian, khutbah, ceramah, pengajian, tausiyah, dan tanya jawab bersama ustadz ahlussunnah yang membahas tema seputar bid'ah dan ahli bid'ah. 1. bab 25 tercelanya hawa nafsu dan kebid'ahan serta ahlul
1. Pengertian Bid’ah Soal Syaikh yang mulia, apakah bid’ah itu? Jawab Bid’ah telah dinyatakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya “Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan karena setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di dalam neraka.” [1] Dengan demikian, semua bid’ah, baik yang baru maupun yang sudah berjalan lama, berdosa jika dilakukan. Demikianlah, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyatakan dalam sabdanya “Tempatnya di dalam neraka,” maksudnya perbuatan sesat ini menyebabkan pelakunya mendapat siksa di dalam neraka. Jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan umatnya dari segala perbuatan bid’ah maka logikanya bid’ah itu merusak. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebutkan bid’ah secara umum, tanpa mengecualikan hal tertentu, dengan sabdanya “Setiap bid’ah itu sesat.” Kemudian, semua bid’ah pada dasarnya adalah semua perbuatan ibadah yang mengikuti ketentuan di luar syariat Islam. Hal ini berarti si pelaku bid’ah menganggap syariat tidak sempurna sehingga ia menyempurnakannya dengan ibadah yang direkayasa yang dianggapnya dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kepada orang seperti ini kami mengatakan “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di dalam neraka. Jadi, wajib hukumnya meninggalkan semua bid’ah. Seseorang tidak boleh melakukan ibadah kecuali mengikuti syariat Allah dan Rasul-Nya agar benar-benar menjadikan beliau sebagai panutan, sedangkan orang yang menempuh jalan bid’ah berarti telah menjadikan si pembuat bid’ah sebagai panutannya di luar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika ia melakukan perbuatan bid’ahnya.” Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fataawa wa Rasaaik, juz 2, hlm. 291 2. Makna Bid’ah dan Kaidahnya Soal Apakah makna bid’ah dan bagaimana pedomannya? Apakah ada bid’ah hasanah? Apa maksud dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Barangsiapa merintis satu rintisan yang baik dalam Islam…?” Jawab Makna bid’ah dalam kaidah syariat yaitu melakukan ibadah kepada Allah di luar dari syariat yang ditetapkan Allah. Anda dapat juga mendefinisikannya sebagai melakukan ibadah di luar dari contoh yang diberikan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para khalifahnya yang terpimpin. Kaidah atau definisi pertama terambil dari firman Allah “Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan kepada mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” QS. Asy-Syuura 21 Kaidah atau definisi kedua terambil dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Ikutilah oleh kalian sunnahku dan sunnah para khalifah sesudahku yang lurus lagi terpimpin. Peganglah ia dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Waspadalah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan.” [2] Setiap orang yang melakukan ibadah kepada Allah dengan melakukan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah atau tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam atau para khalifah yang terpimpin berarti seorang pelaku bid’ah, baik dalam perkara berkenaan dengan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya, atau syariat-Nya. Adapun perkara-perkara yang sudah menjadi adat atau kebiasaan masyarakat menurut agama tidak dinamakan bid’ah sekalipun menurut bahasa disebut bid’ah juga. Bid’ah menurut bahasa bukanlah bid’ah yang dimaksudkan oleh agama dan bukan pula bid’ah yang diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk dijauhi. Dalam agama selamanya tidak ada yang disebut bid’ah hasanah baik. Adapun yang disebut rintisan yang baik sebagaimana tersebut di dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah sesuatu yang sesuai dengan. Hal ini mencakup orang yang merintis perbuatan yang baik, menghidupkan kembali perbuatan baik setelah ditinggalkan orang, atau melakukan suatu kebiasaan yang menjadi sarana bagi terlaksananya perbuatan ibadah. Sunnah terbagi tiga macam Pertama, Sunnah dalam pengertian merintis suatu perbuatan. Pengertian inilah yang dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang anjuran beliau untuk memberi sedekah kepada para tamu beliau di Madinah karena mereka sangat memerlukannya. Nabi shallallahu alaihi wasallam menganjurkan bersedekah, maka datanglah seorang laki-laki Anshar membawa nampan perak penuh makanan yang dibawanya dengan berat, lalu ia letakkan di pangkuan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Nabi shallallahu alaihi wasallam kemudian bersabda “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang lain yang melakukan rintisannya yang baik.” [3] Laki-laki Anshar ini merintis suatu perbuatan bukan merintis suatu syariat. Kedua, Sunnah dalam pengertian seseorang melakukan kembali kebiasaan baik yang telah ditinggalkan, berarti ia menghidupkannya kembali. Jadi, orang ini merintis dengan pengertian menghidupkannya kembali, sekalipun dahulu sudah pernah ada bukan ia yang memulainya. Ketiga, Sunnah dalam pengertian melakukan suatu yang dapat menjadi jalan terlaksananya sesuatu yang dibenarkan syariat, seperti membangun madrasah dan menerbitkan buku. Hal ini tidak dimaksudkan sebagai usaha melakukan ibadah itu sendiri, tetapi sebagai sarana untuk melaksanakan yang lain. Semua ini masuk dalam pengertian dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang lain yang melakukan rintisannya yang baik.” Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fataawa wa Rasaail, juz 2, hlm. 291-293 3. Memperlakukan Ahli Bid’ah Soal Bagaimana orang yang mengikuti Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam memperlakukan ahli bid’ah. Apakah boleh menjauhinya dan mendiamkannya? Jawab Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang menyebabkan kekafiran dan bid’ah yang lain. Kita wajib mengajak mereka yang mengaku beragama Islam, baik yang melakukan bid’ah yang menyebabkan kekafiran maupun yang tidak, untuk mengikuti kebenaran dengan keterangan yang benar, tanpa mencercanya, kecuali setelah terbukti bahwa yang bersangkutan tidak mau menerima kebenaran. Demikianlah, karena Allah telah memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam firman-Nya “Janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…” QS. Al-An’aam 108 Kita terlebih dahulu mengajak mereka kepada kebenaran dengan memberikan keterangan yang benar serta mengemukakan dalil-dalilnya. Kebenaran akan diterima oleh orang yang memiliki fitrah yang sehat. Apabila ternyata ia menolak dan mengingkarinya maka kita jelaskan kepada mereka kebatilannya karena menjelaskan kebatilan mereka merupakan suatu kewajiban. Akan tetapi, kita tidak melakukan debat kusir dengan mereka. Adapun menjauhi mereka, hal ini tergantung pada bid’ahnya. Jika bid’ahnya menyebabkan kekafiran maka wajib dijauhi dan jika tidak seperti itu maka kita menahan diri jangan sampai menjauhi dan mendiamkannya. Kalau dengan menjauhi dan mendiamkannya ternyata membawa kebaikan maka kita boleh melakukannya. Jika ternyata tidak membawa kebaikan maka jangan kita lakukan. Hal ini karena pada dasarnya seorang mukmin diharamkan menjauhi dan mendiamkan saudaranya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Seorang muslim tidak halal menjauhi dan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” [4] Setiap mukmin, walaupun fasik, haram dijauhi dan didiamkan, kalau ternyata langkah ini tidak membawa kebaikan. Jika membawa kebaikan maka kita jauhi dan diamkan karena langkah ini merupakan obat. Akan tetapi, jika tidak membawa kebaikan, bahkan membuat yang bersangkutan semakin berbuat maksiat dan durjana, maka langkah mendiamkan dan menjauhi itu harus ditinggalkan. Mungkin ada yang membantah dengan alasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam dahulu pernah menjauhi dan mendiamkan Ka’ab bin Malik dan dua orang temannya yang tidak mau ikut pergi perang Tabuk. Jawabnya, langkah seperti ini muncul dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau menyuruh shahabat-shahabatnya menjauhi dan mendiamkan ketiga orang itu karena langkah tersebut bermanfaat besar. Bahkan, para shahabat bertambah keras menjalankan perintah tersebut sehingga ketika Ka’ab bin Malik mendapat surat dari raja Ghassan yang isinya “Saya mendengar bahwa teman anda, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, telah mengucilkan anda dan anda berada di tempat yang tidak enak dan terhina, karena itu kami bersimpati kepada anda,” lalu Ka’ab bin Malik dengan rasa tertekan dan kesal mengambil surat ini dan pergi kemudian membakarnya di dapur. Pengucilan terhadap ketiga orang tersebut membawa kebaikan yang besar. Selanjutnya, hasilnya sungguh-sungguh tidak pernah terbayangkan bahwa Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang mereka ini yang dibaca orang sampai hari kiamat. Allah berfirman “Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sungguh, terhadap tiga orang yang ditangguhkan penerimaan taubat mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit pula terasa oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari siksa Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sungguh Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” QS. At-Taubah 117-118 Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fataawa wa Rasaail, juz 2, hlm. 293-295 4. Menyanggah Pernyataan Ahli Bid’ah Soal Bagaimana kita menyanggah ahli bid’ah yang menjadikan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam,” sebagai dalil? Jawab Kita bantah mereka dengan menyatakan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang lain yang melakukan rintisannya.” [5] Juga sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Ikutilah oleh kalian sunnahku dan sunnah para khalifah sesudahku yang lurus lagi terpimpin. Peganglah ia dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Waspadalah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” [6] Bahwa yang dimaksud dengan merintis kebaikan haruslah ditempatkan sesuai dengan sebab munculnya hadits ini, yaitu Nabi shallallahu alaihi wasallam menganjurkan orang untuk memberi sedekah kepada kaum dari Bani Mudhar yang datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan sangat membutuhkan dan lapar. Oleh karena itu, datanglah seorang laki-laki Anshar membawa nampan perak penuh makanan, lalu ia letakkan di hadapan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Nabi shallallahu alaihi wasallam kemudian bersabda “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam, maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang lain yang melakukan rintisannya.” Bila kita memahami sebab munculnya hadits ini maka kita dapat mendudukkan makna yang dimaksud bahwa yang dimaksud dengan merintis suatu amal kebajikan adalah yang bukan bersifat membuat syariat baru. Hal ini karena hak membuat syariat hanya ada pada Allah dan Rasul-Nya. Adapun yang dimaksud dengan merintis suatu rintisan adalah mempelopori amal kebajikan dan mengajak manusia untuk melakukannya. Oleh karena itu, orang seperti ini mendapat pahala dari kebaikan rintisannya dan dari orang lain yang mengikutinya. Itulah yang dimaksud oleh hadits tersebut. Kalimat ini dapat pula diartikan “Barangsiapa membuat suatu sarana yang dapat dipakai untuk melakukan ibadah dan memberikan teladan kepada manusia untuk melaksanakan sesuatu yang baik, seperti mengarang kitab, menyusun sistematika ilmu, membangun sekolah-sekolah, dan lain-lain, yang menurut syariat merupakan jalan yang dibenarkan.” Jika seseorang merintis membuat sarana yang dapat digunakan untuk memenuhi hal-hal yang diperintahkan oleh syariat, bukan hal yang dilarang, maka usahanya itu termasuk dalam pengertian hadits ini. Seandainya hadits di atas dapat dimaknakan bahwa manusia boleh membuat suatu urusan agama sesukanya maka hal itu berarti agama Islam ini di masa hayat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam belum sempurna. Hal ini juga berarti tiap-tiap umat berhak membuat syariat dan jalan sendiri. Jika orang yang berbuat bid’ah mempunyai anggapan bahwa bid’ah seperti ini sebagai bid’ah yang baik maka anggapannya itu salah. Hal ini karena anggapannya itu telah dinyatakan sesat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya “Setiap bid’ah itu sesat.” Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fataawa wa Rasaail, juz 2, hlm. 295-296 Catatan kaki [1] HR. Abu Dawud no. 3991 CD dan Nasa’i no. 1560 CD. [2] HR. Abu Dawud no. 3991 CD. [3] HR. Muslim no. 1691 CD. [4] HR. Bukhari no. 5612 CD. [5] HR. Muslim no. 1691 CD. [6] HR. Abu Dawud no. 3991 CD. Sumber Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci, disusun oleh Khalid Al-Juraisy penerjemah Ustadz Muhammad Thalib, penerbit Media Hidayah cet. Pertama, Rajab 1424 H/September 2003, hal. 205-213. Pertanyaan Saya sering mendengar ustadz bicara tentang bid'ah.Apa sih definisi bid'ah dan contoh nyatanya di masyarakat sekarang?. andiga putra Jawaban: Bismillah.Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-I'tisham, memberikan definisi bid'ah, sebagai berikut, طريقة فيالدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها Oleh abu yazid 1. Pertanyaan Bid’ah itu apa ? Jawab Secara Bahasa adalah sesuatu yang baru yang tidak ada pada zaman Nabi . Secara Istilah adalah sesuatu yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya didalam agama ini, yang menyerupai agama/syariat, yang dibuat oleh orang atas nama agama sehingga ia terlihat szeperti bagian dari agama ini, dengan maksud untuk taqarrub/mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan ganjaran pahala/kebaikan. 2. Pertanyaan Apakah setiap bid’ah adalah kesesatan ? Jawab Ya… Jika dalam hal urusan agama/peribadatan bukan dalam hal urusan dunia. Nabi  diutus ke dunia untuk memperbaiki tauhid, aqidah dan tata cara peribadatan manusia kepada Allah . Dan Allah ingin dibadahi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh-Nya yang diajarkan oleh Nabi yang mulia  kepada para sahabat , bukan berdasarkan selera diri sendiri/kelompok. Agama ini telah sempurna yang tidak perlu ada penambahan maupun pengurangan sedikitpun, sebagaimana dengan firman Allah …Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu… QS Al-Maidah3 Ayat tersebut turun pada haji wada’ beberapa hari sebelum Rasulullah  wafat, jadi tidak boleh ada modifikasi penambahan/pengurangan syariat yang telah ditetapkan. Karena setiap penambahan/pengurangan syariat haruslah dengan wahyu Allah yang datang melalui Nabi-Nya. Dan sabda Nabi  yang mulia yang menyatakan bahwa Setiap Bid’ah adalah sesat yang bermakna umum tidak ada pengecualian. Hadits Jabir bin Abdullah , bahwa Rasulullah  pernah berkhutbah dihadapan khalayak ramai, beliau memuji Allah dan mengagungkan-Nya sesuai keberadaan-Nya, kemudian beliau  bersabda Amma ba’du, seungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad  dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap bid’ah adalah sesat. HR Muslim Dan didalam hadits Irbadh bin syariyah dijelaskan, Rasulullah  menasehati kami dengan nasehat yang menggetarkan hati dan membuat air mata kami berlinang. Lalu kami berkata “Wahai Rasulullah ! sepertinya ini adalah nasehat perpisahan, maka nasehatilah kami ya Rasulullah.” Beliaupun lalu bersabda, “aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah  lalu tunduk dan taat kepada pemimpin walaupun yang yang memimpin kalian dalah hamba sahaya, karena sesungguhnya orang yang hidup diantara kalian akan mendapatkan perselisihan yang banyak. Oleh karena itu berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang telah mendapat petunjuk setelahku. Gengamlah erat-erat sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian dan berhati-hatilah dengan perkara yang baru bid’ah, karena setiap yang baru bid’ah adalah sesat.” HR Abu Dawud 4607, Tirmidzi 2676 dll, lihat al-Luma fil-rudd ala Muhassiny al-Bida’ sabda Rasulullah  “Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami dalam Islam yang tidak terdapat tuntunan padanya, maka ia tertolak” [Muttafaqun alayhi] Dan sabda beliau.  “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak” [HR Bukhari] Dengan demikian, maka tidak ada jalan bagi ahli bid’ah untuk menjadikan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah, dan perkataan Setiap bid’ah adalah kesesatan Merupakan perkataan yang langsung keluar dari lisan Nabi kita yang mulia , dan bukan perkataan sahabat ataupun ulama. 3. Pertanyaan Bukankah ada bid’ah hasanah ? Jawab Nabi  telah mengatakan bahwa Setiap bid’ah adalah sesat, tidak ada pengecualian. Jika ada bid’ah hasanah maka saya ingin bertanya tentang Qawaid/Kaidah-kaidah dan Dhawabith/Batasannya. Apakah setiap perbuatan bid’ah adalah hasanah dan apakah setiap orang bisa membuat bid’ah ? Karena setiap bid’ah adalah sesuatu yang disandarkan kepada agama Islam ini, dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah atau ingin mendapatkan ganjaran dari Allah . Sehingga bid’ah itu terlihat sebagai bagian dari agama ini dan orang menganggapnya sebagai bagian dari risalah yang dibawa oleh Nabi yang mulia . Mari kita artikan kedalam Bahasa Indonesia Bid’ah artinya Sesat Hasanah artinya baik/kebaikan Bid’ah hasanah artinya Kesesatan yang baik, gimana donk ada kesesatan yang baik, bukankah setiap kesesatan adalah kejahatan !!! Mungkin anak kecilpun akan bertanya “seperti apa kesesatan yang baik” 4. Pertanyaan Bagaimana dengan perkataan Umar ibnul Khaththab  sebaik-baik bid’ah adalah ini pada shalat tarawih yang dijadikan landasan/dalil oleh mereka untuk membuat/melakukan dan melegalkan bid’ah ? Jawab Saya akan bawakan perkataan seorang ulama, yakni Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rahimahullah– dalam hal ini Pertama Tidak boleh seorangpun menentang perkataan Nabi  walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali  atau dengan perkataan selain mereka. Karena Allah  berfirman Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. QS An-nur63 Fitnah disini ahli tafsir mengatakan kufur, syirik, murtad, nifaq dan bid’ah. Imam Ahmad bin Hanbal berkata “Tahukah kamu apa yang dimaksud dengan fitnah ? fitnah yaitu syirik. Boleh jadi apabila seseorang menolak sebagian sabda Nabi  akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya ia akan binasa.” Ibnu Abbas  berkata “Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit, kukatakan Rasulullah bersabda tapi kalian mengatakan Abu Bakar dan Umar berkata” Kedua Kita yakin kalau Umar  termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah  dan sabda Rasul-Nya. Tetapi bid’ah yang dikatakan oleh Umar harus ditempatkan sebagai bid’ah yang tidak termasuk didalam sabda Nabi  setiap bid’ah adalah kesesatan. Kenapa ? karena shalat tarawih sendiri sudah ada pada zaman Rasulullah , sebagaimana yang dinyatakan oleh Aisyah –radiallahu anha- “bahwa Nabi  pernah melakukan qiyamullail shalat malam bersama sahabat tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannya pada malam ke-empat dan bersabda, Sesunggunya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedangkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya” Muttafaqun Alayhi Jadi shalat malam tarawih pada bulan Ramadhan ada contohnya dari Nabi . Disebut bid’ah oleh Umar dengan pertimbangan bahwa Nabi  menghentikannya pada malam ke-empat, ada sahabat Nabi  yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang berjamaah dengan beberapa orang saja dan ada yang berjamaah dengan orang banyak. Akhirnya Umar  sebagai khalifah pada saat itu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dalam satu imam. 5. Pertanyaan Apakah motor, mobil, pesawat, microphone itu bid’ah ? Jawab Tidak. Sebab motor, mobil, microphone dlsb adalah sarana dan merupakan urusan dunia dan Nabi  diutus untuk bukan untuk mengurusi keduniaan tetapi diutus untuk urusan agama. Seperti men-tauhid-kan Allah, beribadah kepada-Nya dengan cara yang diinginkan oleh-Nya tidak dengan cara yang kita inginkan. Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non ibadah adat, hukum asalnya adalah tidak terlarang mubah sampai terdapat larangan. Hal inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/86 dan ulama lainnya. Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah adat yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.” Al I’tishom, 1/348 Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang pada kurma -yang merupakan perkara duniawi-, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ “Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan 6. Pertanyaan Bagaimana dengan dalil yang menyatakan “Barangsiapa yang membuat contoh/sunnah yang baik dalam Islam maka iaamendapat pahala perbuatnnya dan pahala orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat” ? Jawab Orang yang menyampaikan perkataan itu adalah orang yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, yakni Rasulullah . Dan perkataan beliau  tidak mungkin bertentangan, sebagaimana firman Allah  tidak ada yang bertentangan. Kalau ada yang menganggapnya seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali karena anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya tidak mampu atau kurang teliti. Karena tidak ada sama sekali pertentangan dalam firman Allah atau sabda Rasulullah . Mari kita perhatikan teks dalam bahasa Arabnya مَنْ سَنَّ فِيْ الإِ سْلَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَا مَةِ Coba perhatikan kembali hadits tersebut, Kata مَنْ سَنَّ فِيْ الإِ سْلَمِ barangsiapa yang berbuat sunnah didalam Islam, sedangkan bid’ah bukan berasal dari Islam. Dan hadits tersebut mengatakan dengan سُنَّةً حَسَنَةً sunnah yang baik bukan bid’ah yang baik !!!. Jadi kata سَنَّ tidak berarti tidak membuat sesuatu yang bid’ah, melainkan menghidupkan kembali sunnah yang telah lama ditinggalkan, karena arti sunnah berbeda dengan arti bid’ah. Jadi barangsiapa yang menghidupkan sunnah Nabi  yang pernah ada kemudian ditinggalkan maka ia akan mendapatkan pahala dan mendapatkan pahala yang mengikutinya. 7. Pertanyaan kami melakukan itu dengan niat yang baik dan ikhlas, tidak bertujuan melawan syari’at, tidak mempunyai pikiran untuk mengoreksi agama, dan tidak terbersit dalam hati untuk melakukan bid’ah ! Bahkan sebagian mereka berdalil dengan hadits Nabi . “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” [Muttafaq Alaihi] Jawab Syarat diterimanya ibadah apabila memenuhi dua syarat, ikhlas dan mutaba’ah mengikuti contoh Rasulullah tidak hanya didasarkan atas niat baik dan ikhlas semata. Berikut ini saya bawakan perkataan syaikh Ali bin Hasan al-Halabi -hafidzahullah- Kewajiban seorang muslim yang ingin mengetahui kebenaran yang sampai kepadanya serta hendak mengamalkannya adalah tidak boleh menggunakan sebagian dalil hadits dengan meninggalkan sebagian yang lain. Tetapi yang wajib dia lakukan adalah memperhatiakn semua dalil secara umum hingga hukumnya lebih dekat kepada kebenaran dan jauh dari kesalahan. Demikianlah yang harus dilakukan bila dia termasuk orang yang mempunyai keahlian dalam menyimpulkan dalil. Tetapi bila dia orang awam atau pandai dalam keilmuan kontemporer yang bukan ilmu-ilmu syari’at, maka dia tidak boleh coba-coba memasuki kepadanya, seperti kata pepatah “Ini bukan sarangmu maka berjalanlah kamu!“. Adapun yang benar dalam masalah yang penting ini, bahwa sabda Nabi . “Sesunnguhnya segala amal tergantung pada niat” adalah sebagai penjelasan tentang salah satu dari dua pilar dasar setiap amal, pilar pertama yaitu ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga yang selain Allah tidak meretas ke dalamnya. Adapun pilar kedua adalah, bahwa setiap amal harus sesuai Sunnah Nabi , seperti dijelaskan dalam hadits, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak“. Dan demikian itulah kebenaran yang dituntut setiap orang untuk merealisasikan dalam setiap pekerjaan dan ucapannya. Atas dasar ini, maka kedua hadits yang agung tersebut adalah sebagai pedoman agama, baik yang pokok maupun cabang, juga yang lahir dan yang batin. Dimana hadits “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” sebagai timbangan amal yang batin. Sedangkan hadits “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak” sebagai tolak ukur lahiriah setiap amal. Dengan demikian, maka kedua hadits tersebut memberikan pengertian, bahwa setiap amal yang benar adalah bila dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, yang keduanya merupakan syarat setiap ucapan dan amal yang lahir maupun yang batin. Oleh karena itu, siapa yang ikhlas dalam setiap amalnya karena Allah dan sesuai sunnah Rasulullah , maka amalnya diterima, dan siapa yang tidak memenuhi dua hal tersebut atau salah satunya maka amalnya tertolak. [Bahjah Qulub Al-Abrar 10 Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di] Dan demikian itulah yang dinyatakan oleh Fudhail bin Iyadh ketika menafsirkan firman Allah “Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya” [QS Al-Mulk 2] Beliau berkata, Maksudnya, dia ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika dia benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan Sunnah Rasulullah” [Hilyatu Auliya VIII/95, Abu Nu’aim. Dan lihat Tafsir Al-Baghawi V/419, Jami’ul Al-Ulum wal Hikam 10 dan Madarij As-Salikin I/83] Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata [Mawarid Al-Aman Al-Muntaqa min Ighatshah Al-Lahfan 35], “Sebagian ulama salaf berkata, “Tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil melainkan dibentangkan kepadanya dua catatan. Mengapa dan bagaimana ? Yakni, mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukan ? Pertanyaan pertama tentang alasan dan dorongan melakukan pekerjaan. Apakah karena ada interes tertentu dan tujuan dari berbagai tujuan dunia seperti ingin dipuji manusia atau takut kecaman mereka, atau ingin mendapatkan sesuatu yang dicintai secara cepat, atau menghindarkan sesuatu yang tidak disukai dengan cepat ? Ataukah yang mendorong melakukan pekerjaan itu karena untuk pengabdian kepada Allah dan mencari kecintaan-Nya serta untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Artinya, pertanyaan pertama adalah, apakah kamu mengerjakan amal karena Allah, ataukah karena kepentingan diri sendiri dan hawa nafsu? Adapun pertanyaan kedua tentang mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam pengabdian itu. Artinya, apakah amal yang dikerjakan sesuai syari’at Allah yang disampaikan Rasul-Nya? Ataukah pekerjaan itu tidak disyari’atkan Allah dan tidak diridhai-Nya? Pertanyaan pertama berkaitan dengan ikhlas ketika beramal, sedangkan yang kedua tentang mengikuti Sunnah. Sebab Allah tidak akan menerima amal kecuali memenuhi kedua syarat tersebut. Maka agar selamat dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan. Sedang agar selamat dari pertanyaan kedua adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam mengerjakan setiap amal. Jadi amal yang diterima adalah bila hatinya selamat dari keinginan yang bertentangan dengan ikhlas dan juga selamat dari hawa nafsu yang kontradiksi dengan mengikuti Sunnah”. Ibnu Katsir dalam tafsirnya I/231 berkata, “Sesungguhnya amal yang di terima harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Kedua, benar dan sesuai syari’at. Jika dilakukan dengna ikhlas, tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima“. Pernyataan itu dikuatkan dan dijelaskan oleh Ibnu Ajlan, ia berkata, “Amal tidak dikatakan baik kecuali dengan tiga kriteria takwa kepada Allah, niat baik dan tepat sesuai sunnah” [Jami Al-Ulum wal Hikam 10] Kesimpulannya, bahwa sabda Nabi , “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” itu maksudnya, bahwa segala amal dapat berhasil tergantung pada niatnya. Ini adalah perintah untuk ikhlas dan mendatangkan niat dalam segala amal yang akan dilakukan oleh seseorang dengan sengaja, itulah yang menjadi sebab adanya amal dan pelaksanaannya. [Lihat Fathul bari I/13 dan Umdah Al-Qari I/25] Atas dasar ini, maka seseorang tidak dibenarkan sama sekali menggunakan hadits tersebut sebagai dalil pembenaran amal yang batil dan bid’ah karena semata-mata niat baik orang yang melakukannya! 8. Pertanyaan Jika itu bid’ah kenapa Kyai, Habib dan Ustadz di Indonesia melakukannya ? Jawab Pertama Perbuatan seseorang tidak boleh dijadikan dalil/hujjah didalam agama, apalagi perbuatan tersebut bertentangan dengan syariat. Lihat kembali jawaban dari pertanyaan ke-4 bagian pertama. Kedua Kyai, Habib ataupun Ustadz adalah manusia biasa yang tidak bisa merubah ketetapan syariat yang telah Allah tetapkan. Mereka kyai, habib dan ustadz bisa salah dan bisa benar. Jika perbuatan mereka bersesuaian dengan Kitabullah dan Sunnah diatas pemahaman salafush-shalih maka boleh kita ambil. Tetapi jika bertentangan maka wajib kita tolak dan tinggalkan. Allah  berfirman Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. [QS Al-An’aam 153] Ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud  bahwa jalan itu hanya satu, sedangkan jalan selainnya adalah jalan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan jalannya ahlul bid’ah. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Imam Mujahid ketika menafsirkan ayat ini. Jalan yang satu ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah r dan para Shahabatnya t. Jalan ini adalah ash-Shirath al-Mustaqiim yang wajib atas setiap muslim menempuhnya dan jalan inilah yang akan mengantarkan kepada Allah U. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa jalan yang mengantarkan seseorang kepada Allah hanya SATU… Tidak ada seorang pun yang dapat sampai kepada Allah, kecuali melalui jalan yang satu ini. [Tafsiir al-Qayyim, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cet. Daarul Kutub al-Ilmiyyah th. 1398 H] 9. Pertanyaan Apa saja contoh bid’ah ? Jawab Contoh-contoh bid’ah dari sekian banyak bid’ah yang ada disekitar kita Maulid Nabi saran sebaiknya pelajari dan kenali asal-muasal maulid Nabi, siapa pencetus pertama maulid Nabi Acara selamatan Kematian, Kehamilan 3 bulan, 7 bulan dan selamatan/syukuran lainnya umumnya terjadi pada negara yang masyarakat dahulunya adalah beragama Hindu Yasinan asal hukum baca Surat Yasin boleh, tapi jika ditentukan waktunya –misalkan tiap hari/malam tertentu-, bilangan – misalkan baca sekian kali– dan tempatnya –misalnya baca dikuburan, ditempat kematian dll– maka itu adalah bid’ah, jika itu baik maka Nabi dan para Sahabatnya telah mendahului kita mengamalkannya, bukankah Istri yang paling dicintai Nabi juga meninggal, jika itu baik kenapa Nabi tidak membacakan Yasin atau selamatan kematian/tahlilan ?. Shalawat Badar, Nariyah, Fatih, Qubra dll shalawat ini mengandung kesyirikan jika diartikan kedalam bahasa Indonesia dan shalawat tersebut tidak ada asalnya dari Nabi  Peringatan malam Nisfu Sya’ban Dzikir secara berjama’ah dipimpin oleh satu orang atau lebih. dll Demikianlah seputar tanya jawab yang umumnya terjadi antara ahlussunnah dan ahlul bid’ah. Ahlussunnah adalah orang yang berpegang teguh diatas sunnah Nabi  atau dengan kata lain orang yang kehidupannya berada/mengikuti petunjuk Nabi . Ahlul Bid’ah adalah orang yang kehidupannya dipenuhi dengan amalan bid’ah, amalan yang tidak ada asalnya dari Nabi . Sebagai penutup semoga kita diberikan hidayah oleh Allah didalam menerima kebenaran yang memang pahit ini dan meninggalkan segala bentuk amalan bid’ah, dan mereka yang terjebak didalam bid’ah yang kemungkinan memiliki tujuan baik dan menghendaki kebaikan, apabila anda memang menghendaki kebaikan, maka -demi Allah- tidak ada jalan yang lebih baik dari pada jalan generasi terbaik umat ini yaitu zaman Nabi  dan para sahabatnya, tabi’in dan tabiut tabi’in. Hendaklah kaum muslimin yang menganggap baik sebagian bid’ah, baik yang berkenaan dengan pribadi atau cara mengagungkan Rasulullah , hendaklah mereka takut kepada Allah dan menghindari hal-hal semacam itu. Beramallah dengan didasari ikhlas dan mengikuti contoh Nabi , bukan amal yang syirik dan bid’ah, menurut apa yang diridhai oleh Allah, bukan apa yang disenangi syaitan. Semoga Allah menerangkan hati kita dengan iman dan ilmu, menjadikan ilmu agama yang kita miliki menjadi berkah dan bukan bencana. Semoga Allah membimbing kita kepada jalan para hamba-Nya yang beriman dan golongan-Nya yang beruntung. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya. Wallahu alam Abu Yazid Fatwa Rohmana 13 Rabiul Awwal 1430 This entry was posted on Selasa, Maret 10th, 2009 at 1136 am and is filed under Uncategorized. You can follow any responses to this entry through the RSS feed. You can leave a response, or trackback from your own site. Navigasi pos Previous Post Next Post »

Jawaban2: Memahami dengan benar [المصالح المرسلة] "al-masholihul mursalah". Yang mendukung bid'ah hasanah kurang paham, sehingga menggiranya adalah bid'ah. Memang keduanya hampir mirip yaitu sama-sama kelihatannya hal yang baru dalam agama. Tetapi hakikatnya al-masholihul mursalah ada dalilnya dalam syariat. Bagi yang

[Bagian Pertama dari 4 Tulisan]Saudaraku yang semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah, seringkali kita mendengar kata bid’ah, baik dalam ceramah maupun dalam untaian hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Namun, tidak sedikit di antara kita belum memahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan bid’ah sehingga seringkali salah memahami hal ini. Bahkan perkara yang sebenarnya bukan bid’ah kadang dinyatakan bid’ah atau sebaliknya. Tulisan ini -insya Allah- akan sedikit membahas permasalahan bid’ah dengan tujuan agar kaum muslimin bisa lebih mengenalnya sehingga dapat mengetahui hakikat sebenarnya. Sekaligus pula tulisan ini akan sedikit menjawab berbagai kerancuan tentang bid’ah yang timbul beberapa saat yang lalu di website kita tercinta ini. Sengaja kami membagi tulisan ini menjadi empat bagian. Kami harapkan pembaca dapat membaca tulisan ini secara sempurna agar tidak muncul keraguan dan salah paham. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang ISLAM TELAH SEMPURNASYARAT DITERIMANYA AMALPENGERTIAN BID’AHAGAMA ISLAM TELAH SEMPURNASaudaraku, perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, agama Islam ini telah sempurna sehingga tidak perlu adanya penambahan atau pengurangan dari ajaran Islam yang telah kita renungkan hal ini pada firman Allah Ta’ala,الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” QS. Al Ma’idah [5] 3Seorang ahli tafsir terkemuka –Ibnu Katsir rahimahullah– berkata tentang ayat ini, “Inilah nikmat Allah azza wa jalla yang tebesar bagi umat ini di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain selain agama ini, juga tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang beliau shallallahu alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram adalah yang beliau shallallahu alaihi wa sallam haramkan.” Tafsir Al Qur’an Al Azhim, pada tafsir surat Al Ma’idah ayat 3SYARAT DITERIMANYA AMALSaudaraku –yang semoga dirahmati Allah-, seseorang yang hendak beramal hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini telah disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat,فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya dengan sesuatu pun.” QS. Al Kahfi [18] 110Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Inilah dua rukun diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] mencocoki ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” HR. Muslim no. 1718Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir lahir. Sebagaimana hadits innamal a’malu bin niyat [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.” Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul Hadits Al QohirohBeliau rahimahullah juga mengatakan, “Secara tekstual mantuq, hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tertolak. Secara inplisit mafhum, hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang ada tuntunan dari syari’at maka amalan tersebut tidak tertolak. …Jika suatu amalan keluar dari koriodor syari’at, maka amalan tersebut sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam yang bukan ajaran kami’ mengisyaratkan bahwa setiap amal yang dilakukan hendaknya berada dalam koridor syari’at. Oleh karena itu, syari’atlah yang nantinya menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan tersebut diperintahkan atau dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu amalan yang masih berada dalam koridor syari’at dan mencocokinya, amalan tersebutlah yang diterima. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan keluar dari ketentuan syari’at, maka amalan tersebut tertolak. Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77-78Jadi, ingatlah wahai saudaraku. Sebuah amalan dapat diterima jika memenuhi dua syarat ini yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Jika salah satu dari dua syarat ini tidak ada, maka amalan tersebut tertolak.[Definisi Secara Bahasa]Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al Arobiyah-Asy SyamilahHal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ“Allah Pencipta langit dan bumi.” QS. Al Baqarah [2] 117, Al An’am [6] 101, maksudnya adalah mencipta membuat tanpa ada contoh firman-Nya,قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ“Katakanlah Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” QS. Al Ahqaf [46] 9 , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. Lihat Lisanul Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah[Definisi Secara Istilah]Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalahعِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُSuatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat tanpa ada dalil, pen yang menyerupai syari’at ajaran Islam, yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat tradisi.Adapun yang memasukkan adat tradisi dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalahطَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِSuatu jalan dalam agama yang dibuat-buat tanpa ada dalil, pen dan menyerupai syari’at ajaran Islam, yang dimaksudkan ketika melakukan adat tersebut adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah. Al I’tishom, 1/26, Asy SyamilahDefinisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,وَالْبِدْعَةُ مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ“Bid’ah adalah i’tiqod keyakinan dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ kesepakatan salaf.” Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy SyamilahRingkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar RoyahSebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah. Ada yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bid’ah secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam baik yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Al Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir. Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang melarang bid’ah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas dalam penjelasan selanjutnya. Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, sedikit muqodimah mengenai definisi bid’ah dan berikut kita akan menyimak beberapa kerancuan seputar bid’ah. Pada awalnya kita akan melewati pembahasan apakah setiap bid’ah itu sesat?’. Semoga kita selalu mendapat taufik pembahasan selanjutnya Mengenal Seluk Beluk BID’AH 2 Adakah BID’AH HASANAH?***Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, Dimuroja’ah oleh Ustadz Aris Munandar Artikel
KirimPertanyaan . Jawaban-jawaban baru . Mengenal Islam Tentang Website . Petunjuk Pengguna . Kategori Tema Fiqih dan Usul Fiqih Usul fikih bidah bidah Membatalkan Mengikuti . 695 15-02-2015 Menghatamkan Al Qur'an, Apakah Perlu Dirayakan ? Pertanyaan Ke 1 Dalam al Qur'an dan semua Hadits Nabi tidak ada tersirat definisi dari masalah bid'ah dan pembagian bid'ah kepada lima itu hanya buatan Ulama saja?? Jawab Ya,memang definisi dan pengertian dari bid'ah tidak tersebut di dalam dalil Al Quran dan oleh para Ulama telah mengistimbatkan dari al Quran dan Hadits yang bertalian dengan masalah keseluruhannya,maka di buatlah definisi dari bid'ah. Sekelas Imam syafi'i terkenal dengan nama julukan"Ahlul Hadits",yaitu ahli dalam bidang masalah ilmu Hadits dan Imam Hanafi terkenal sebagai"Ahlul Rayi",yaitu ahli berpendapat mengistimbatk hukum. Kitab kitab karangan Imam syafi'i yang penuh dengan Hadits Yang shahih-shahih terutama sekali adalah kitab Al Umm yang besar. Dan sekelas Imam ibnu Hajar al Asqalani pembuat ta'rif bid'ah termasuk ahli dalam ilmu Hadits adalah pengarang kitab"Fathul Bari",yaitu syarah kitab Hadits Imam Bukhari. Imam Nawawi bukan saja ahli fiqih tetapi juga ahli ilmu Hadits dan kitabnya yang bernama "Syarah Muslim","Riyadhus Shalihin",al Adzkar dan pula Hadits arba'in membuktikan bahwa beliau juga ahli dalam ilmu Hadits. Imam 'Izzuddin bin Abdussalam wafat 660 H merupakan seorang Ulama besar juga, beliau ahli dalam ilmu tafsir dan ahli Hadits yang sudah mencapai derajat ilmunya kepada Imam mengarang kira kira sebanyak 30kitab dalam berbagai masalah Ilmu,diantaranya adalah kitab"Qawidul Ahkam fi Mashahalihil Anam" dan kitab"Majaz al Qur'an" beliaupun di berikan gelar julukan sebagai"Sultan Ulama Ulama". Baca juga; RPP 1 Lembar 2020 PKN SMA/MA kelas 10 Maka beliau beliau inilah yang membuat definisi dari bid'ah itu dan dari para beliaulah membagikan bid'ah kepada lima bagian yaitu sesudah mengistimbatkan al Qur'an dan Hadits yang bersangkutan dengan persoalan bid'ah. Pertanyaan Ke 2 Pada beberapa buku yang telah kami kutip bahwa definisi dari bid'ah adalah sesuatu yang tidak punya kalau sesuatu itu punya dalil apalagi tersebut di dalam kitab Bukhari dan Muwatha' itu bukan bid'ah lagi. Benarkah pendapat ini?? Jawab Pendapat ini sangat keliru dan tidak terarah. Yang di namakan bid'ah ialah sesuatu amalan agama yang tidak dikenal di diketahuinya pada zamannya Nabi,tetapi kemudian muncul sesudah wafatnya baginda Nabi. Jadi,mengenai sembahyang tarawih berjamaah 20 rakaat,walaupun ada dalilnya yaitu"Sunnah Khulafaur Rasyidin".juga digolongkan ke dalam bid' bid'ah hasanah bagus .Bukan bid'ah madzmumah tercela. Kami pernah mengutip di dalam kitab Hadits Imam Bukhari pada halaman 242 juz 1,dan pula di dalam kitab Muwatha' juz 1 halaman 136-137,di jelaskan perkataan Saidina Umar RdaSebaik baik bid'ah adalah ini tarawih berjamaah 20 rakaat. Karena masalah shalat terawih ini dikatakan oleh beliau setelah Saidina Umar melihat orang orang sembahyang tarawih 20 rakaat berjamaah sebulan penuh di mesjid. Di dalam kitab Imam Bukhari juga di terangkan bahwa mengumpulkan ayat-ayat al Quran untuk dijadikan satu buku merupakan bid' tidak dilakukan dikenal pada zamannya Nabi Perkara ini juga dikatakan bid'ah walaupun sudah ada dalilnya yaitu Sunnah Khulafaur Rasyidin Fathul Bari juzu' x halaman 385-390. Lokasi ariv yabarwiel "DUNIA HANYA HIASAN,AKHIRATLAH TUJUAN" By arifullah rkgF8.
  • x7l0cw5wzy.pages.dev/178
  • x7l0cw5wzy.pages.dev/86
  • x7l0cw5wzy.pages.dev/55
  • x7l0cw5wzy.pages.dev/445
  • x7l0cw5wzy.pages.dev/187
  • x7l0cw5wzy.pages.dev/332
  • x7l0cw5wzy.pages.dev/234
  • x7l0cw5wzy.pages.dev/488
  • pertanyaan tentang bid ah